Daftar Blog Saya

Jumat, 05 November 2010

penanganan resiko pada penyelenggaraan konstruksi


1. PENDAHULUAN

Masalah keselamatan dan kesehatan kerja (K3) secara umum di Indonesia masih sering terabaikan. Hal ini dapat ditunjukkan dengan masih tingginya angka kecelakaan kerja. Hal ini tentunya sangat memprihatinkan. Tingkat kepedulian dunia usaha terhadap K3 masih rendah. Padahal karyawan adalah aset penting perusahaan.
Jumlah kecelakaan kerja yang tercatat juga ditengarai tidak menggambarkan kenyataan di lapangan yang sesungguhnya yaitu tingkat kecelakaan kerja yang lebih tinggi lagi. Seperti diakui oleh berbagai kalangan di lingkungan Departemen Tenaga Kerja, angka kecelakaan kerja yang tercatat dicurigai hanya mewakili tidak lebih dari setengah saja dari angka kecelakaan kerja yang terjadi. Hal ini disebabkan oleh beberapa masalah, antara lain rendahnya kepentingan masyarakat untuk melaporkan kecelakaan kerja kepada pihak yang berwenang. Pelaporan kecelakaan kerja sebenarnya diwajibkan oleh undang-undang, namun terdapat dua hal penghalang yaitu prosedur administrasi yang dianggap merepotkan dan nilai klaim asuransi tenaga kerja yang kurang memadai. Di samping itu, sanksi bagi perusahaan yang tidak melaporkan kasus kecelakaan kerja sangat ringan.
Sebagian besar dari kasus-kasus kecelakaan kerja terjadi pada kelompok usia produktif. Kematian merupakan akibat dari kecelakaan kerja yang tidak dapat diukur nilainya secara ekonomis. Kecelakaan kerja yang mengakibatkan cacat seumur hidup, di samping berdampak pada kerugian non-materil, juga menimbulkan kerugian materil yang sangat besar, bahkan lebih besar bila dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan oleh penderita penyakit-penyakit serius seperti penyakit jantung dan kanker.
Masalah umum mengenai K3 ini juga sering terjadi pada penyelenggaraan konstruksi. Sektor jasa konstruksi adalah salah satu sektor yang paling berisiko terhadap kecelakaan kerja, disamping sektor utama lainnya yaitu pertanian, perikanan, perkayuan, dan pertambangan. Jumlah tenaga kerja di sektor konstruksi yang rata-rata hanya mengenyam pendidikan sampai dengan tingkat Sekolah Dasar, bahkan tidak sedikit tenaga kerja ini belum pernah mendapatkan pendidikan formal apapun. Sebagai besar dari mereka juga berstatus tenaga kerja harian lepas atau borongan yang tidak memiliki ikatan kerja yang formal dengan perusahaan. Kenyataan ini tentunya mempersulit penanganan masalah K3 yang biasanya dilakukan dengan metoda pelatihan dan penjelasan-penjelasan mengenai Sistem Manajemen K3 yang diterapkan pada perusahaan konstruksi.

2. RISIKO KECELAKAAN KERJA PADA PROYEK KONSTRUKSI

Industri jasa konstruksi merupakan salah satu sektor industri yang memiliki risiko kecelakaan kerja yang cukup tinggi. Berbagai penyebab utama kecelakaan kerja pada proyek konstruksi adalah hal-hal yang berhubungan dengan karakteristik proyek konstruksi yang bersifat unik, lokasi kerja yang berbeda-beda, terbuka dan dipengaruhi cuaca, waktu pelaksanaan yang terbatas, dinamis dan menuntut ketahanan fisik yang tinggi, serta banyak menggunakan tenaga kerja yang tidak terlatih. Ditambah dengan manajemen keselamatan kerja yang sangat rendah, akibatnya para pekerja bekerja dengan pelaksanaan konstruksi yang berisiko tinggi. Untuk memperkecil risiko kecelakaan kerja, sejaka awal tahun 1980 pemerintah telah mengeluarkan suatu peraturan tentang keselamatan kerja khusus untuk sektor konstruksi, yaitu Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per-01/Men/1980.
Peraturan mengenai keselamatan kerja untuk konstruksi tersebut, walaupun belum pernah diperbaharui sejak dikeluarkannya lebih dari 20 tahun silam, namun dapat dinilai memadai untuk kondisi minimal di Indonesia. Hal yang sangat disayangkan adalah pada penerapan peraturan tersebut di lapangan. Rendahnya kesadaran masyarakat akan masalah keselamatan kerja, dan rendahnya tingkat penegakan hukum oleh pemerintah, mengakibatkan penerapan peraturan keselamatan kerja yang masih jauh dari optimal, yang pada akhirnya menyebabkan masih tingginya angka kecelakaan kerja.
Dari berbagai kegiatan dalam pelaksanaan proyek konstruksi, pekerjaan-pekerjaan yang paling berbahaya adalah pekerjaan yang dilakukan pada ketinggian dan pekerjaan galian. Pada ke dua jenis pekerjaan ini kecelakaan kerja yang terjadi cenderung serius bahkan sering kali mengakibatkan cacat tetap dan kematian. Jatuh dari ketinggian adalah risiko yang sangat besar dapat terjadi pada pekerja yang melaksanakan kegiatan konstruksi pada elevasi tinggi. Biasanya kejadian ini akan mengakibat kecelakaan yang fatal. Sementara risiko tersebut kurang diperhatikan secara serius oleh para pelaku konstruksi, dengan sering kali mengabaikan penggunaan peralatan pelindung (personal fall arrest system) yang sebenarnya telah diatur dalam pedoman K3 konstruksi.
Jenis-jenis kecelakaan kerja akibat pekerjaan galian dapat berupa tertimbun tanah, tersengat aliran listrik bawah tanah, terhirup gas beracun, dan lain-lain. Bahaya tertimbun adalah risiko yang sangat tinggi, pekerja yang tertimbun tanah sampai sebatas dada saja dapat berakibat kematian. Di samping itu, bahaya longsor dinding galian dapat berlangsung sangat tiba-tiba, terutama apabila hujan terjadi pada malam sebelum pekerjaan yang akan dilakukan pada pagi keesokan harinya.
Masalah keselamatan dan kesehatan kerja berdampak ekonomis yang cukup signifikan. Setiap kecelakaan kerja dapat menimbulkan berbagai macam kerugian. Di samping dapat mengakibatkan korban jiwa, biaya-biaya lainnya adalah biaya pengobatan, kompensasi yang harus diberikan kepada pekerja, premi asuransi, dan perbaikan fasilitas kerja. Terdapat biaya-biaya tidak langsung yang merupakan akibat dari suatu kecelakaan kerja yaitu mencakup kerugian waktu kerja (pemberhentian sementara), terganggunya kelancaran pekerjaan (penurunan produktivitas), pengaruh psikologis yang negatif pada pekerja, memburuknya reputasi perusahaan, denda dari pemerintah, serta kemungkinan berkurangnya kesempatan usaha (kehilangan pelanggan pengguna jasa). Biaya-biaya tidak langsung ini sebenarnya jauh lebih besar dari pada biaya langsung.

3. PEDOMAN K3 KONSTRUKSI

Pemerintah telah sejak lama mempertimbangkan masalah perlindungan tenaga kerja, yaitu melalui UU No. 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja. Sesuai dengan perkembangan jaman, pada tahun 2003, pemerintah mengeluarkan UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang undang ini mencakup berbagai hal dalam perlindungan pekerjayaitu upah, kesejahteraan, jaminan sosial tenaga kerja, dan termasuk juga masalah keselamatan dan kesehatan kerja.
Aspek ketenagakerjaan dalam hal K3 pada bidang konstruksi, diatur melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.PER-01/MEN/1980 Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Konstruksi Bangunan. Peraturan ini mencakup ketentuan-ketentuan mengenai keselamatan dan kesehatan kerja secara umum maupun pada tiap bagian konstruksi bangunan. Peraturan ini lebih ditujukan untuk konstruksi bangunan, sedangkan untuk jenis konstruksi lainnya masih banyak aspek yang belum tersentuh. Di samping itu, besarnya sanksi untuk pelanggaran terhadap peraturan ini sangat minim yaitu senilai seratus ribu rupiah.
Sebagai tindak lanjut dikeluarkannya Peraturan Menakertrans tersebut, pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Tenaga Kerja No.Kep.174/MEN/1986-104/KPTS/1986: Pedoman Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan Konstruksi. Pedoman yang selanjutnya disingkat sebagai ”Pedoman K3 Konstruksi” ini merupakan pedoman yang dapat dianggap sebagai standar K3 untuk konstruksi di Indonesia. Pedoman K3 Konstruksi ini cukup komprehensif, namun terkadang sulit dimengerti karena menggunakan istilah-istilah yang tidak umum digunakan, serta tidak dilengkapi dengan deskripsi/gambar yang memadai. Kekurangan-kekurangan tersebut tentunya sangat menghambat penerapan pedoman di lapangan, serta dapat menimbulkan perbedaan pendapat dan perselisihan di antara pihak pelaksana dan pihak pengawas konstruksi.
Pedoman K3 Konstruksi selama hampir dua puluh tahun masih menjadi pedoman yang berlaku. Baru pada tahun 2004, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, yang kini dikenal sebagai Departemen Pekerjaan Umum, mulai memperbarui pedoman ini, dengan dikeluarkannya KepMen Kimpraswil No. 384/KPTS/M/2004 Tentang Pedoman Teknis Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan Konstruksi Bendungan. ”Pedoman Teknis K3 Bendungan” yang baru ini khusus ditujukan untuk proyek konstruksi bendungan, sedangkan untuk jenis-jenis proyek konstruksi lainnya seperti jalan, jembatan, dan bagunan gedung, belum dibuat pedoman yang lebih baru. Namun, apabila dilihat dari cakupan isinya, Pedoman Teknis K3 untuk bendungan tersebut sebenarnya dapat digunakan pula untuk jenis-jenis proyek konstruksi lainnya. ”Pedoman Teknis K3 Bendungan” juga mencakup daftar berbagai penyakit akibat kerja yang hrus dilaporkan.

4. PENGAWASAN DAN SISTEM MANAJEMEN K3

Menurut UU Ketenagakerjaan, aspek pengawasan ketenagakerjaan termasuk masalah K3 dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang harus memiliki kompetensi dan independensi. Pegawai pengawas perlu merasa bebas dari pengaruh berbagai pihak dalam mengambil keputusan. Di samping itu, unit kerja pengawasan ketenagakerjaan baik pada pemerintah propinsi maupun pemerintah kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan kepada Menteri Tenaga Kerja. Pegawai pengawasan ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugasnya wajib merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut dirahasiakan dan tidak menyalah gunakan kewenangannya.
Pegawai pengawas ini sangat minim jumlahnya, pegawai pengawas K3 di Departemen Tenaga Kerja pada tahun 2002 berjumlah 1.299 orang secara nasional, yang terdiri dari 389 orang tenaga pengawas struktural dan 910 orang tenaga pengawas fungsional. Para tenaga pengawas ini jumlahnya sangat minim bila dibandingkan dengan lingkup tugasnya yaitu mengawasi 176.713 perusahaan yang mencakup 91,65 juta tenaga kerja di seluruh Indonesia.
Pemerintah menyadari bahwa penerapan masalah K3 di perusahaan-perusahaan tidak dapat diselesaikan dengan pengawasan saja. Perusahaan-perusahaan perlu berpatisipasi aktif dalam penanganan masalah K3 dengan menyediakan rencana yang baik, yang dikenal sebagai Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja atau ”SMK3.” SMK3 ini merupakan tindakan nyata yang berkaitan dengan usaha yang dilakukan oleh seluruh tingkat manajemen dalam suatu organisasi dan dalam pelaksanaan pekerjaan, agar seluruh pekerja dapat terlatih dan termotivasi untuk melaksanakan program K3 sekaligus bekerja dengan lebih produktif.
UU Ketenagakerjaan mewajibkan setiap perusahaan yang memiliki lebih dari 100 pekerja, atau kurang dari 100 pekerja tetapi dengan tempat kerja yang berisiko tinggi (termasuk proyek konstruksi), untuk mengembangkan SMK3 dan menerapkannya di tempat kerja. SMK3 perlu dikembangkan sebagai bagian dari sistem manajemen suatu perusahaan secara keseluruhan. SMK3 mencakup hal-hal berikut: struktur organisasi, perencanaan, pelaksanaan, tanggung jawab, prosedur, proses dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan penerapan, pencapaian, pengkajian, dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian resiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif.
Berbagai usaha telah dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai masalah K3, yaitu salah satunya dengan memberikan apresiasi kepada para pengusaha yang menerapkan prinsip-prinsip K3 dalam operasional perusahaan yang berupa penghargaan tertulis serta diumumkan di media-media massa.

5. JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA

Penanganan masalah kecelakaan kerja juga didukung oleh adanya UU No. 3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Berdasarkan UU ini, jaminan sosial tenaga kerja (jamsostek) adalah perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan uang sebagai pengganti sebagian penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat dari suatu peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, tua dan meninggal dunia. Jamsostek kemudian diatur lebih lanjut melalui PP No. 14/1993 mengenai penyelenggaraan jamsostek di Indonesia. Kemudian, PP ini diperjelas lagi dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. PER-05/MEN/1993, yang menunjuk PT. ASTEK (sekarang menjadi PT. Jamsostek), sebagai sebuah badan (satu-satunya) penyelenggara jamsostek secara nasional.
Sebagai penyelenggara asuransi jamsostek, PT. Jamsostek juga merupakan suatu badan yang mencatat kasus-kasus kecelakaan kerja termasuk pada proyek-proyek konstruksi melalui pelaporan klaim asusransi setiap kecelakaan kerja terjadi. Melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP-196/MEN/1999, berbagai aspek penyelenggaraan program jamsostek diatur secara khusus untuk para tenaga kerja harian lepas, borongan, dan perjanjian kerja waktu tertentu, pada sektor jasa konstruksi. Karena pekerja sektor jasa konstruksi sebagian besar berstatus harian lepas dan borongan, maka KepMen ini sangat membantu nasib mereka. Para pengguna jasa wajib mengikutsertakan pekerja-pekerja lepas ini dalam dua jenis program jamsostek yaitu jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian. Apabila mereka bekerja lebih dari 3 bulan, pekerja lepas ini berhak untuk ikut serta dalam dua program tambahan lainnya yaitu program jaminan hari tua dan jaminan pemeliharaan kesehatan.
Khusus mengenai aspek kesehatan kerja diatur melalui Keppres No.22/1993. Dalam Keppres ini, terdapat 31 jenis penyakit yang diakui untuk mungkin timbul karena hubungan kerja. Setiap tenaga kerja yang menderita salah satu penyakit ini berhak mendapat jaminan kecelakaan kerja baik pada saat masih dalam hubungan kerja maupun setelah hubungan kerja berakhir (sampai maksimal 3 tahun). Pada umumnya, penyakit-penyakit tersebut adalah sebagai akibat terkena bahan kimia yang beracun yang berasal dari material konstruksi yang apabila terkena dalam waktu yang cukup lama dapat mengakibatkan penyakit yang serius. Penyakit yang mungkin timbul juga termasuk kelainan pendengaran akibat kebisingan kegiatan konstruksi, serta kelainan otot, tulang dan persendian yang sering terjadi pada pekerja konstruksi yang terlibat dalam proses pengangkutan material berbobot dan berulang, dan penggunaan peralatan konstruksi yang kurang ergonomis.
Dengan demikian, perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jamsostek secara legal dapat dikatakan memadai. Namun, besarnya pembayaran jaminan tersebut sering kali tidak memadai. Sebagai contoh, biaya-biaya transportasi dan perawatan di rumah sakit akibat kecelakaan kerja yang sudah tidak sesuai lagi dengan tingginya kenaikan harga yang terjadi pada saat ini.
6. PENUTUP

Dari uraian mengenai berbagai aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada penyelenggaraan konstruksi di Indonesia, dapat diambil kesimpulan bahwa bebagai masalah dan tantangan yang timbul tersebut berakar dari rendahnya taraf kualitas hidup sebagian besar masyarakat.
Permasalahan K3 pada jasa konstruksi yang bertumpu pada tenaga kerja berkarakteristik demikian, tentunya tidak dapat ditangani dengan cara-cara yang umum dilakukan di negara maju. Langkah pertama perlu segera diambil adalah keteladanan pihak Pemerintah yang mempunyai fungsi sebagai pembina dan juga “the biggest owner.” Pihak pemilik proyek lah yang memiliki peran terbesar dalam usaha perubahan paradigma K3 konstruksi.




Sumber :
Reini D. Wirahadikusumah, Tantangan Masalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Proyek Konstruksi di Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar